Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama
hanya ada di antara dua kategori, yaitu:
1. Yang diperintah atau dicontohkan,
yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam
al-Qur’an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh
Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau.
2. Yang dilarang , yaitu setiap amalan
yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw.
Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah:
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
(QS. al-Hasyr: 7)
Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara
tentang fai’ (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa
pertempuran), sehingga tafsiran asalnya adalah “apa yang diberikan Rasul
(dari harta fai’) kepadamu maka terimalah dia” (lihat Tafsir
Jalalain). Tetapi para mufassir seperti Ibnu Katsir dan
al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan “apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia” dengan makna “apa yang diperintahkan Rasul …”
berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa yang dilarang oleh
Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat hadis yang mendukung
makna tersebut.
Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut
bersifat umum, artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat
global, sehingga untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang
secara pasti membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat
khusus.
Dalil lain yang mereka ajukan adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ
شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda,
“Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian,
sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan
perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang
kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu
perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian” (HR.
Bukhari).
Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan
dalil-dalil lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang
dilarang atau yang diperintahkan secara pasti.
Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah
& larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah
mengikuti sunnah & larangan melakukan bid’ah. Pengarahan konteks
tersebut sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa
pengertian tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum
dan butuh perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula
–terutama mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang
selain bid’ah seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau
mengkonsumsi makanan & minuman yang diharamkan.
Kategori Ketiga
Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang
diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang
luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu “yang tidak
diperintah juga tidak dilarang” sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis
di atas dengan ungkapan “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang
aku tinggalkan bagi kalian”. Imam Ibnu Hajar al-Asqollani
menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah
“Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan
–red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu
atau larangan melakukan sesuatu.”
Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim
menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw.
menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, “Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka
berhajilah”, ada seorang yang bertanya, “apakah setiap tahun ya
Rasulullah?”. Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya
tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Bila aku jawab ‘ ya’ maka
jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu”. Kemudian beliau
bersabda ,“Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan
untuk kalian”.
Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang
adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga
tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh
ditarik kepada “yang diperintah” atau kepada “yang dilarang” tanpa dalil yang
jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu
perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak
dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai
ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.
Tetapi sayangnya, kategori ini mereka masukkan
dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu “yang dilarang”.
Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan
adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil:
“… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih. ” (QS. An-Nuur: 63)
Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat “menyalahi” atau
menyelisihi perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum,
tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah “melakukan apa yang tidak
diperintahkan”.
Bila melakukan “yang tidak diperintahkan” adalah terlarang
semata-mata karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita
–termasuk juga mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan
pelanggaran yang sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti
disebut ayat tadi, karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf,
membuat karpet masjid, menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio,
dan lain sebagainya yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh
Rasulullah Saw.
Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
(رواه البخاري)
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah
kami atasnya maka amalan itu tertolak” (HR. Bukhari).
Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum
Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena
kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai “laysa ‘alaihi
amrunaa” dengan arti “yang tidak ada perintah kami atasnya”. Kata
“amr” memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata “amara –
ya’muru” yang berarti “memerintahkan”. Tetapi bila ia mendapat iringan atau
imbuhan berupa huruf “‘alaa” (atas), maka artinya adalah “menguasai”.
Jadi, bila kalimat “amara ‘alaa” berarti “menguasai”, maka kalimat
“amarnaa ‘alaihi” berarti “kami menguasainya”, maka kalimat
“amrunaa ‘alaihi” atau “‘alaihi amrunaa” amat janggal bila
diartikan “perintah kami atasnya”. Karena untuk arti “perintah”, kata
“amara” lebih tepat diiringi huruf “bi” (dengan), seperti
firman Allah ta’ala: “Innallaaha ya’muru bil-’adli” (sesungguhnya Allah
memerintahkan untuk berbuat adil).
Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan
terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw.
adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid’ah,
seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman
setelah shalat berjama’ah, do’a berjama’ah, zikir berjama’ah, membaca al-Qur’an
di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski
tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau
ketertolakannya.
Kata amr pada “amrunaa” di dalam hadis
tersebut menurut para ulama maksudnya adalah “urusan (agama) kami”. Jadi
terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, “Barangsiapa
yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan
ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak”. Seandainya pun kata
“amrunaa” diartikan sebagai “perintah kami” dengan susunan kalimat
seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu “amalan
yang tidak sesuai dengan perintah kami”, bukan “ yang tidak
ada perintah kami atasnya “. Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang
berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam
urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu
tertolak” (HR. Muslim)
“Tidak sesuai perintah” mengandung pengertian
adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan,
contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal
shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan.
Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang
diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan
sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau
formatnya secara keseluruhan. Sedangkan “tidak tidak ada perintah kami
atasnya “ mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali,
dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa “melakukan
apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala”.
Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh
bid’ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau
eksplisit?
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut
mengenai “amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami” juga
bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah
mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau
tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus.
Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga
(yaitu kategori perkara “yang tidak diperintah tapi juga tidak
dilarang) , sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw.
“Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk
kalian” sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut
sebagai “rahmat” dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا،
وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ
تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ
تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah
mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan,
dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian
lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan
kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa
ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena
lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” (Hadis
hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).
Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab
al-Arba’in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan
“Ia telah mendiamkan beberapa hal” tentunya sangat
berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang “mewajibkan”,
“menetapkan batasan”, dan “mengharamkan”. Maksudnya, saat Rasulullah Saw.
menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta’ala ”mendiamkan
beberapa hal” maka itu artinya “Allah tidak memasukkan
beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia wajibkan, atau entah ke
dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia
haramkan”. Paling tidak, itu artinya Allah
tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi,
tidak menentukan hukumnya.
Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat
menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak
dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah
menyebutnya sebagai “rahmat” ??!
Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan “maka
jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” adalah larangan yang khusus
pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari’atan,
karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti
kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah
Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya
sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi.
Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah
& Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau
seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan,
mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang “rahmat” sebagaimana
tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu
dapatlah diketahui hukum “boleh” atau “tidak”nya suatu perkara berdasarkan
prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw.
tersebut.
Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa
mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam
sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan
kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah
berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh
umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara
baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru
yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya “rahmat” akan tetap dianggap
“rahmat” sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah
terlihat jelas perbedaan antara “perkara baru di dalam ajaran agama”
dan “perkara baru yang berbau agama”.
Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi
ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama “perkara baru di dalam
ajaran agama” dengan “perkara baru yang berbau agama”,
dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid’ah sesat dan terlarang.
Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat “rahmat” yang ada
pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul
bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt.,
mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta
memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana “rahmat” yang ada
pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta
dan pemuliaan terhadap beliau.
Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap “rahmat” yang
Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan
hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu
banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara
tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah
kubur, tentang membacakan al-Qur’an kepada orang yang meninggal dunia, tentang
tabarruk, tentang berzikir atau berdo’a berjama’ah, tentang do’a qunut
pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata “tidak
ada dalilnya” atau “tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para
shahabatnya”.
Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak
diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat
beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra.
sebagai berikut:
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ
فَلاَ تَفْعَلُوْهَا
“Setiap ibadah yang tidak dilakukan para
Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan” (Prof. TM Hasbi
Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya “Kriteria Antara
Sunnah dan Bid’ah”, dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi
kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat
ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah karya Hammud bin
Abdullah al-Mathar).
Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus
diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum,
yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali
setelah kita memahami pengertian “ibadah” tersebut melalui penjelasan yang
tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih
dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ
“Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah
Saw.)”
atau dalam kaidah lain, “Asal hukum ibadah adalah haram,
kecuali bila ada
dalil yang menyuruhnya.”
Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian
dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama
yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum
Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita
samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau
tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai
ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh
hal-hal tersebut seperti: Do’a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann
(sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai
ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja
dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan
ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak
mungkin.
Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan
oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat
hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu
mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu
dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo’a harus dengan
kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain;
dan khutbah jum’at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada
di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis
dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh,
dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang
belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan
pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin
ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya?
Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa
Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti
kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit
berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu
seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum
Salafi & Wahabi adalah bid’ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh
ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang
bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya)
alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas
sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif
akibat terbatasi oleh larangan bid’ah yang tidak jelas akan menjadi
sangat membosankan.
Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya
dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra’ & Mi’raj, tahlilan, zikir berjama’ah,
rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya’ir Islami, dan lain
sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat
manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin
bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi’in.
Hasilnya, syi’ar Islam jadi semarak, dan umat Islam terpelihara
keimanannya dengan banyaknya kegiatan keislaman di setiap waktu dan tempat di
mana mereka dapat sering bertemu dengan para ulama dan orang-orang shaleh yang
lama-kelamaan menjadi figur dan idola di hati mereka.
Sumber : An Nahdhiyah