Kamis, 31 Januari 2013
Albani Bukan Ahli Hadis
Syaikh
Albani;
'Bukan
Ahli Hadis dan Penuh Kontradiksi'
Moh.
Ma'ruf Khozin
Ketua LBM NU
Surabaya
Kitab-kitab
modern saat ini, atau kitab klasik yang ditakhrij, karya-karya tulis ilmiyah,
artikel-artikel dan sebagainya, serentak semuanya menggunakan hasil takhrij
hadis yang dilakukan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani. Ada apa di balik gerakan
ini? Sosok yang satu ini tiba-tiba melejit menjadi 'ahli hadis' tanpa tandingan
bagi kalangan Wahhabi, tanpa diketahui perjalanan menuntut ilmu hadisnya dan
guru-guru yang membimbingnya.
Sementara
tahapan teoritik dan faktual untuk menjadi 'Ahli Hadis' amatlah rumit dan tak
semudah menjadi ahli hadis gadungan. Disini saya rangkai secara sistematis
pembahasan tentang tema diatas dengan didahului perihal ilmu hadis, kriteria
seorang ahli hadis, ahli hadis gadungan yang menempuh jalan otodidak, dan
bukti-bukti nyata kesalahan fatal ahli hadis palsu, baik dari pengikut Albani
maupun dari para kritikusnya. Selamat Membaca, semoga Allah memberi manfaat dan
meningkatkan kewaspadaan dalam masalah ini. Amin
Ilmu
Hadis
Hadis
terdiri dari dua disiplin ilmu, yaitu Ilmu Dirayat dan Ilmu Riwayat. Ilmu
Dirayat lebih dikenal dengan ilmu Mushtalah Hadis yang membahas status hadis
terkait sahih, hasan, dlaif atau maudlu'nya. Sementara ilmu Riwayat berkaitan
dengan sanad hadis sampai kepada Rasulullah Saw. Kedua disiplin ilmu ini tidak
dapat dipilih salah satunya saja bagi ahli hadis, keduanya harus sama-sama mampu
dikuasai. Sebagaimana yang dikutip beberapa kitab Musthalah Hadis terkait
pengakuan Imam Bukhari bahwa beliau hafal 300.000 hadis, yang 100.000 adalah
sahih dan yang 200.000 adalah dlaif, maka Imam Bukhari juga hafal dengan kesemua
sanadnya tersebut. (Syarah Taqrib an-Nawawi I/13)
Ilmu
hadis memiliki kesamaan dengan ilmu Qira'ah al-Quran, yaitu tidak cukup dengan
ilmu secara teori dari teks kitab dan tidak cukup secara otodidak, tetapi harus
melalui metode 'Talaqqi' atau transfer ilmu secara langsung dari guru
kepada murid dalam majlis ilmu.
Kriteria
'Ahli Hadis' Dan 'al-Hafidz'
al-Hafidz
as-Suyuthi mengutip dari para ulama tentang 'ahli hadis' dan
'al-hafidz':
"Syaikh
Ibnu Sayyidinnas berkata: Ahli hadis (al-Muhaddits) di masa kami adalah orang
yang dihabiskan waktunya dengan hadis baik secara riwayat atau ilmu mushthalah,
dan orang tersebut mengetahui beberapa perawi hadis dan riwayat di masanya,
serta menonjol sehingga dikenal daya hafalannya dan daya akurasinya. Jika ia
memiliki pengetahuan yang lebih luas sebingga mengetahui para guru, dan para
maha guru dari berbagai tingkatan, sekira yang ia ketahui dari setiap jenjang
tingkatan lebih banyak daripada yang tidak diketahui, maka orang tersebut adalah
al-Hafidz" (Al-Hafidz as-Suyuthi, Syarah Taqrib I/11)
وَقَالَ
الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّيْنِ السُّبْكِي إِنَّهُ سَأَلَ الْحَافِظَ جَمَالَ
الدِّيْنِ الْمِزِّي عَنْ حَدِّ الْحِفْظِ الَّذِي إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ
الرَّجُلُ جَازَ أَنْ يُطْلَقَ عَلَيْهِ الْحَافِظُ ؟ قَالَ يُرْجَعُ إِلَى أَهْلِ
الْعُرْفِ, فَقُلْتُ وَأَيْنَ أَهْلُ الْعُرْفِ ؟ قَلِيْلٌ جِدًّا, قَالَ أَقَلُّ
مَا يَكُوْنُ أَنْ يَكُوْنَ الرِّجَالُ الَّذِيْنَ يَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُ
تَرَاجُمَهُمْ وَأَحْوَالَهُمْ وَبُلْدَانَهُمْ أَكْثَرَ مِنَ الَّذِيْنَ لاَ
يَعْرِفُهُمْ, لِيَكُوْنَ الْحُكْمُ لِلْغَالِبِ, فَقُلْتُ لَهُ هَذَا عَزِيْزٌ فِي
هَذَا الزَّمَانِ (تدريب
الرّاوي في شرح تقريب النّواوي 1 / 11)
"Syaikh Taqiyuddin as-Subki berkata bahwa ia bertanya kepada
al-Hafidz Jamaluddin al-Mizzi tentang kriteria gelar al-Hafidz. Syaikh al-Mizzi
menjawab: Dikembalikan pada 'kesepakatan' para pakar. Syaikh as-Subki bertanya:
Siapa para pakarnya? Syaikh al-Mizzi menjawab: Sangat sedikit. Minimal orang
yang bergelar al-Hafidz mengetahui para perawi hadis, baik biografinya,
perilakunya dan asal negaranya, yang ia ketahui lebih banyak daripada yang tidak
diketahui. Agar mengena kepada yang lebih banyak. Saya (as-Subki) berkata kepada
beliau: Orang semacam ini sangat langka di masa sekarang (Abad ke 8 Hijriyah)"
(Al-Hafidz as-Suyuthi, Syarah Taqrib I/11)
Otodidak
Bukan Ahli Hadis
Pengertian
otodidak adalah sebagai berikut:
(الصَّحَفِيّ) مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ مِنَ الصَّحِيْفَةِ لاَ عَنْ
أُسْتَاذٍ (المعجم
الوسيط 1/ 508 تأليف إبراهيم مصطفى وأحمد الزيات وحامد عبد القادر ومحمد
النجار)
"Shahafi (otodidak) adalah orang yang mengambil ilmu dari kitab
(buku), bukan dari guru" (Mu'jam al-Wasith I/508)
يَقُوْلُ
الدَّارِمِي مَا كَتَبْتُ حَدِيْثًا وَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ لاَ يُؤْخَذُ الْعِلْمُ
مِنْ صَحَفِيٍّ (سير
أعلام النبلاء للذهبي بتحقيق الارناؤط 8/ 34)
"ad-Darimi (ahli hadis) berkata: Saya tidak menulis hadis (tapi
menghafalnya). Ia juga berkata: Jangan mempelajari ilmu dari orang yang
otodidak" (Siyar A'lam an-Nubala', karya adz-Dzahabi ditahqiq oleh Syuaib
al-Arnauth, 8/34)
Syuaib
al-Arnauth memberi catatan kaki tentang 'shahafi' tersebut:
الصَّحَفِيُّ
مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ مِنَ الصَّحِيْفَةِ لاَ عَنْ أُسْتَاذٍ وَمِثْلُ هَذَا لاَ
يُعْتَدُّ بِعِلْمِهِ لِمَا يَقَعُ لَهُ مِنَ الْخَطَأِ
"Shahafi adalah orang yang mengambil ilmu dari kitab, bukan dari
guru. Orang seperti ini tidak diperhitungkan ilmunya, sebab akan mengalami
kesalahan"
al-Hafidz
adz-Dzahabi berkata:
قَالَ
الْوَلِيْدُ كَانَ اْلاَوْزَاعِي يَقُوْلُ كَانَ هَذَا الْعِلْمُ كَرِيْمًا
يَتَلاَقَاهُ الرِّجَالُ بَيْنَهُمْ فَلَمَّا دَخَلَ فِي الْكُتُبِ دَخَلَ فِيْهِ
غَيْرُ أَهْلِهِ وَرَوَى مِثْلَهَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنِ اْلاَوْزَاعِي. وَلاَ
رَيْبَ أَنَّ اْلاَخْذَ مِنَ الصُّحُفِ وَبِاْلاِجَازَةِ يَقَعُ فِيْهِ خَلَلٌ
وَلاَسِيَّمَا فِي ذَلِكَ الْعَصْرِ حَيْثُ لَمْ يَكُنْ بَعْدُ نَقْطٌ وَلاَ شَكْلٌ
فَتَتَصَحَّفُ الْكَلِمَةُ بِمَا يُحِيْلُ الْمَعْنَى وَلاَ يَقَعُ مِثْلُ ذَلِكَ
فِي اْلاَخْذِ مِنْ أَفْوَاهِ الرِّجَالِ (سير
أعلام النبلاء للذهبي 7/ 114)
"al-Walid mengutip perkataan al-Auza'i: "Ilmu ini adalah sesuatu
yang mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis
dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya." Riwayat ini juga
dikutip oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza'i. Tidak diragukan lagi bahwa mencari
ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi dimasa itu belum ada tanda
baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi rancu beserta maknanya. Dan
hal ini tidak akan terjadi jika mempelajari ilmu dari para guru" (Siyar A'lam
an-Nubala', karya adz-Dzahabi, 7/114)
Syuaib
al-Arnauth juga memberi catatan kaki tentang hal tersebut:
وَلِهَذَا
كَانَ الْعُلَمَاءُ لاَ يَعْتَدُّوْنَ بِعِلْمِ الرَّجُلِ إِذَا كَانَ مَأْخُوْذًا
عَنِ الصُّحُفِ وَلَمْ يَتَلَقَّ مِنْ طَرِيْقِ الرِّوَايَةِ وَالْمُذَاكَرَةِ
وَالدَّرْسِ وَالْبَحْثِ
"Oleh karena itu, para ulama tidak memeperhitungkan ilmu
seseorang yang diambil dari buku, yang tidak melalui jalur riwayat, pembelajaran
dan pembahasan"
Apakah
orang yang otodidak dari kitab-kitab hadis layak disebut ahli hadis? Syaikh
Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:
أَمَّا
مَنْ كَانَ يَكْتَفِي بِاْلأَخْذِ مِنَ الْكِتَابِ وَحْدَهُ دُوْنَ أَنْ
يُعَرِّضَهُ عَلَى الْعُلَمَاءِ وَدُوْنَ أَنْ يَتَلَقَّى عِلْمُهُ فِي
مَجَالِسِهِمْ فَقَدْ كَانَ عَرَضَةً لِلتَّصْحِيْفِ وَالتَّحْرِيْفِ، وَبِذَلِكَ
لَمْ يَعُدُّوْا عِلْمَهُ عِلْمًا وَسَمُّوْهُ صَحَفِيًّا لاَ عَالِمًا .... فَقَدْ
كَانَ الْعُلَمَاءُ يُضَعِّفُوْنَ مَنْ يَقْتَصِرُ فِي عِلْمِهِ عَلَى اْلأَخْذِ
مِنَ الصُّحُفِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَلْقَى الْعُلَمَاءَ وَيَأْخُذَ عَنْهُمْ فِي
مَجَالِسِ عِلْمِهِمْ، وَيَسُمُّوْنَهُ صَحَفِيًّا، وَمِنْ هُنَا اشْتَقُّوْا
"التَّصْحِيْفَ" وَأَصْلُهُ "أَنْ يَأْخُذَ الرَّجُلُ اللَّفْظَ مِنْ قِرَاءَتِهِ
فِي صَحِيْفَةٍ وَلَمْ يَكُنْ سَمِعَهُ مِنَ الرِّجَالِ فَيُغَيِّرُهُ عَنِ
الصَّوَابِ". فَاْلإِسْنَادُ فِي الرِّوَايَةِ اْلأَدَبِيَّةِ لَمْ يَكُنْ، فِيْمَا
نَرَى، إِلاَّ دَفْعًا لِهَذِهِ التُّهْمَةِ (مصادر
الشعر الجاهلي للشيخ ناصر الاسد ص 10 من مكتبة الشاملة)
"Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa
memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama,
maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai
ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama
menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari
ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia
melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan
kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini" (Mashadir asy-Syi'ri
al-Jahili 10)
Masalah
otodidak ini sudah ada sejak lama dalam ilmu hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar
mengomentari seseorang yang otodidak berikut ini:
فَإِنَّهُ
(اَيْ أَبَا سَعِيْدِ بْنِ يُوْنُسَ) كَانَ صَحَفِيًّا لاَ يَدْرِي مَا الْحَدِيْثُ
(تهذيب
التهذيب للحافظ ابن حجر 6/ 347)
"Abu Said bin Yunus adalah orang otodidak yang tidak mengerti apa
itu hadis" (Tahdzib al-Tahdzib VI/347)
al-Hafidz
Ibnu Hajar dan adz-Dzahabi memberi contoh nama lain tentang shahafi:
174
- عَبْدُ الْمَلِكِ بْنِ حَبِيْبِ الْقُرْطُبِي أَحَدُ اْلأَئِمَّةِ وَمُصَنِّفُ
الْوَاضِحَةِ كَثِيْرُ الْوَهْمِ صَحَفِيٌّ وَكَانَ بْنُ حَزْمٍ يَقُوْلُ لَيْسَ
بِثِقَةٍ وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ بَكْرِ بْنِ سَيِّدِ النَّاسِ فِي تَارِيْخِ
اَحْمَدَ بْنِ سَعِيْدِ الصَّدَفِي تَوَهَّنَهُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنِ حَبِيْبٍ
وَاِنَّهُ صَحَفِيٌّ لاَ يَدْرِي الْحَدِيْثَ (لسان
الميزان للحافظ ابن حجر 4/ 59 وميزان الاعتدال للذهبي 2/ 652)
"Abdul Malik bin Habib al-Qurthubi, salah satu imam dan pengarang
kitab yang banyak prasangka, adalah seorang otodidak. Ibnu Hazm berkata: Dia
bukan orang terpercaya. al-Hafidz Ibnu Sayyidinnas berkata bahwa Abdul Malik bin
Habib adalah otodidak yang tak mengerti hadis" (Lisan al-Mizan 4/59 dan Mizan
al-I'tidal 2/652)
Begitu
pula al-Hafidz Ibnu an-Najjar berkata:
عُثْمَانُ
بْنُ مُقْبِلِ بْنِ قَاسِمِ بْنِ عَلِيٍّ أَبُوْ عَمْرٍو الْوَاعِظُ الْحَنْبَلِيُّ
.... وَجَمَعَ لِنَفْسِهِ مُعْجَمًا فِي مُجَلَّدَةٍ وَحَدَّثَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ
مَعْرِفَةٌ بِالْحَدِيْثِ وَاْلاِسْنَادِ وَقَدْ صَنَّفَ كُتُبًا فِي التَّفْسِيْرِ
وَالْوَعْظِ وَالْفِقْهِ وَالتَّوَارِيْخِ وَفِيْهَا غَلَطٌ كَثِيْرٌ لِقِلَّةِ
مَعْرِفَتِهِ بِالنَّقْلِ لاَنَّهُ كَانَ صَحَفِيًّا يَنْقُلُ مِنَ الْكُتُبِ
وَلَمْ يَأْخُذْهُ مِنَ الشُّيُوْخِ (ذيل
تاريخ بغداد لابن نجار 2/ 166)
"Utsman bin Muqbil bin Qasim bin Ali al-Hanbali… Ia telah
menghimpun kitab Mu'jam dalam beberapa jilid dan mengutip hadis, padahal ia
tidak mengetahui tentang hadis dan sanad. Ia juga mengarang kitab-kitab tafsir,
mauidzah, fikih dan sejarah. Di dalamnya banyak kesalahan, karena
minimnya pengetahuan tentang riwayat. Sebab dia adalah otodidak yang mengutip
dari beberapa kitab, bukan dari para guru" (Dzailu Tarikhi Baghdad
II/166)
Ibnu
al-Jauzi dan adz-Dzahabi juga berkomentar tentang shahafi:
114 خَلاَسُ بْنُ عَمْرٍو الْهِجْرِي : يُرْوَي عَنْ عَلِيٍّ
وَعَمَّارٍ وَأَبِي رَافِعٍ كَانَ مُغِيْرَةُ لاَ يَعْبَأُ بِحَدِيْثِهِ وَقَالَ
أَيُّوْبُ لاَ يُرْوَ عَنْهُ فَإِنَّهُ صَحَفِيٌّ (الضعفاء
والمتروكين لابن الجوزي 1/ 255 والمغني في الضعفاء للذهبي 1/ 210)
"Khalas bin Amr al-Hijri. Diriwayatkan dari Ali, Ammar dan Abi
Rafi' bahwa Mughirah tidak memperhatikan hadisnya. Ayyu berkata: Janganlan
meriwayatkan hadis dari Khalas bin Amr, karena ia otodidak" (adh-Dhu'afa wa
al-Matrukin 1/255 dan al-Mughni fi Dhu'afa' 1/210)
Imam
ar-Razi dan Ibnu 'Adi juga melarang mempelajari hadis dari shahafi:
بَابُ
بَيَانِ صِفَةِ مَنْ لاَ يُحْتَمَلُ الرِّوَايَةُ فِي اْلاَحْكَامِ وَالسُّنَنِ
عَنْهُ ... عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى اِنَّهُ قَالَ لاَ تَأْخُذُوْا
الْحَدِيْثَ عَنِ الصَّحَفِيِّيْنَ وَلاَ تَقْرَأُوْا الْقُرْآنَ عَلَى
الْمُصْحَفِيِّيْنَ (الجرح
والتعديل للرازي 2/ 31 والكامل في ضعفاء الرجال لابن عدي 1/ 156)
"Bab tentang sifat orang-orang yang tidak boleh meriwayatkan
hukum dan sunah darinya… Dari Sulaiman bin Musa, ia berkata: Janganlah mengambil
hadis dari orang otodidak dan janganlah belajar al-Quran dari orang yang
otodidak" (al-Razi dalam al-Jarhu wa at-Ta'dil 2/31 dan Ibnu 'Adi dalam al-Kamil
1/156)
Dengan
demikian, orang yang otodidak dalam hadis yang tidak memiliki guru bukanlah ahli
hadis, karya kitab-kitabnya banyak ditemukan kesalahan-kesalahan dan para ulama
melarang mengutip riwayat darinya.
Syaikh
Nashiruddin al-Albani yang Otodidak
Syaikh
Albani awalnya adalah tukang service jam, namun ia punya semangat mempelajari
hadis di Perpustakaan adh-Dhahiriyah di Damaskus.
Konon setiap
harinya mencapai 12 jam di Perpustakaan. Tidak pernah istirahat mentelaah
kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Untuk makannya, seringkali
hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan. Akhirnya kepala kantor
perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan
kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian,
Al-Albani makin leluasa mempelajari banyak sumber.
Sekilas
biografi diatas sesuai dengan kisah berikut ini. Diceritakan bahwa ada seseorang
dari Mahami yang bertanya kepada Syaikh Albani: "Apakah anda ahli hadis
(Muhaddis)?" Syaikh Albani menjawab: "Ya!" Ia bertanya: "Tolong riwayatkan 10
hadis kepada saya beserta sanadnya!" Syaikh Albani menjawab: "Saya bukan ahli
hadis penghafal, saya ahli hadis kitab." Orang tadi berkata: "Saya juga bisa
kalau menyampaikan hadis ada kitabnya." Lalu Syaikh Albani terdiam (Baca Syaikh
Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Ini
menunjukkan bahwa Syaikh Albani adalah Shahafi atau otodidak ketika mendalami
hadis dan ia sendiri mengaku bukan penghafal hadis. Dalam ilmu Musthalah Hadis
jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi' al-hifdzi) maka status
hadisnya adalah dlaif, bukan perawi sahih. Demikian juga hasil takhrij yang
dilakukan oleh Syaikh Albani yang tidak didasari dengan 'Dlabit' (akurasi
hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadis) juga sudah
pasti lemah dan banyak kesalahan.
Bahwa
Albani tidak mempelajari hadis dari para ahlinya ini dibuktikan dalam
kitab-kitab biografi tentang Albani yang ditulis oleh para pengikutnya seperti
'Hayatu al-Albani' karya asy-Syaibani, 'Tsabat Muallafat al-Albani' karya
Abdullah bin Muhammad asy-Syamrani dan sebagainya. Pada umumnya tatkala kita
membuka kitab-kitab biografi para ulama, di depan mukaddimah terdapat sejarah
tentang perjalanan menuntut ilmu dan para gurunya. Namun hal ini tidak terjadi
dalam buku-buku biografi Albani, justru yang disebutkan oleh pengikutnya adalah
untaian kalimat miris berikut ini:
عُرِفَ
الشَّيْخُ اْلأَلْبَانِي رَحِمَهُ اللهُ بِقِلَّةِ شُيُوْخِهِ وَبِقِلَّةِ
إِجَازَاتِهِ . فَكَيْفَ اسْتَطَاعَ أَنْ يُلِّمَّ بِالْعُلُوْمِ وَلاَ سِيَّمَا
عِلْمِ الْحَدِيْثِ وَعِلْمِ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ عَلَى صُعُوْبَتِهِ ؟
(ثبت
مؤلفات الألباني لعبد الله بن محمد الشمراني 7)
"Syaikh Albani dikenal dengan sedikitnya guru dan minimnya ijazah
dalam hadis. Maka bagaimana ia mampu memperdalam ilmu-ilmu, apalagi ilmu hadis
dan ilmu tentang metode memberi penialaian cacat dan adil yang sangat sulit?"
(Tsabat Muallafat al-Albani' karya Abdullah bin Muhammad asy-Syamrani,
7)
Ini
adalah sebuah pengakuan dan pertanyaan yang tak pernah dijawab oleh muridnya
sendiri?!
Kesalahan
Albani Dikoreksi Para Pengikutnya
Penilaian
yang bersifat obyektif adalah koreksi yang secara sadar disampaikan sendiri oleh
para pengikut Albani. Abdullah ad-Dawisy yang merupakan pengikut Wahhabi memberi
otokritik kepada Albani yang dinilainya sering 'tanaqudh' (kontradiksi) dan
memberi 'warning' (peringatan) kepada para penelaah kitab Albani agar tidak
'tertipu' dengan penilaian Albani tentang kedhaifan hadis. Berikut pembuka
komentarnya:
أَمَّا
بَعْدُ : فَهَذِهِ أَحَادِيْثُ وَآثَارٌ وَقَفْتُ عَلَيْهَا فِي مُؤَلَّفَاتِ
الشَّيْخِ مُحَمَّدٍ نَاصِرِ الدِّيْنِ اْلأَلْبَانِي تَحْتَاجُ إِلَى تَنْبِيْهٍ
مِنْهَا مَا ضَعَّفَهُ وَلَمْ يَتَعَقَّبْهُ وَمِنْهَا مَا ضَعَّفَهُ فِي مَوْضِعٍ
وَقَوَّاهُ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمِنْهَا مَا قَالَ فِيْهِ لَمْ أَجِدْهُ أَوْ لَمْ
أَقِفْ عَلَيْهِ أَوْ نَحْوَهُمَا ، وَلَمَّا رَأَيْتُ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ
يَأْخُذُوْنَ بِقَوْلِهِ بِدُوْنِ بَحْثٍ نَبَّهْتُ عَلَى مَا يَسَّرَنِيَ اللهُ
تَعَالَى . فَمَا ضَعَّفَهُ وَهُوَ صَحِيْحٌ أَوْ حَسَنٌ وَلَمْ يَتَعَقَّبْهُ
بَيَّنْتُهُ وَمَا ضَعَّفَهُ فِي مَوْضِعٍ ثُمَّ تَعَقَّبَهُ ذَكَرْتُ تَضْعِيْفَهُ
ثُمَّ ذَكَرْتُ تَعْقِيْبَهُ لِئَلاَّ يَقْرَأَهُ مَنْ لاَ اطِّلاَعَ لَهُ فِي
الْمَوْضِعِ الَّذِي ضَعَّفَهُ فِيْهِ فَيَظُنُّهُ ضَعِيْفًا مُطْلَقًا وَلَيْسَ
اْلأَمْرُ عَلَى مَا ظَنَّهُ (تنبيه
القارئ على تقوية ما ضعفه الألباني عبدالله بن محمد الدويش 5)
"Kitab ini terdiri dari hadis dan atsar yang saya temukan dalam
kitab-kitab Syaikh Albani yang memerlukan peringatan, diantaranya hadis yang ia
nilai dhaif tapi tidak ia ralat, diantaranya juga hadis yang ia nilai dhaif di
satu kitab tetapi ia sahihkan di kitab yang lain, juga yang ia katakan 'saya
tidak menemukannya' (padahal dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadis), dan
sebagainya. Ketika saya melihat banyak orang yang mengambil keterangan dari
Albani tanpa meneliti maka saya ingatkan, sesuai yang dimudahkan oleh Allah
kepada saya. Maka, apa yang didhaifkan oleh Albani padahal hadis itu sahih atau
hasan, maka saya jelaskan. Juga hadis yang didhaifkan Albani di satu kitab tapi
ia ralat, maka saya sebutkan penilaian dhaifnya dan ralatannya tersebut. Supaya
tidak dibaca oleh orang yang tidak mengerti di bagian kitab yang dinilai dhaif
oleh Albani sehingga ia menyangka bahwa hadis itu dhaif secara mutlak, padahal
hakikatnya tidak seperti itu" (Tanbih al-Qari', 5)
Kritik
ad-Dawisy ini dipuji oleh penulis biografi Albani, asy-Syamrani, yang dinilainya
memuliakan dan memiliki sopan santun kepada Syaikh Albani (Baca kitab
Asy-Syamrani, Tsabat Muallafat Albani, 98)
Contoh
kongkrit adalah hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud di bawah ini yang dinilai
dhaif oleh Albani dalam kitab Takhrij Ahadits al-Misykat 1/660:
عن
معاذ الجهني قال قال رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ
أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ
الشَّمْسِ فِي بُيُوتِ الدُّنْيَا ، لَوْ كَانَتْ فِيكُمْ فَمَا ظَنُّكُمْ
بِالَّذِي عَمِلَ بِهَذَا » . رواه أحمد وأبو داود . قال في تخريج أحاديث المشكاة :
إسناده ضعيف ( جـ 1 ص 660) . انتهى . أقول : ليس الأمر كما قال : بل حسن أو صحيح .
ولعله لم يطلع على ما يشهد له وقد ورد ما يشهد له ويقويه من حديث بريدة ... وهذا
الإسناد على شرط مسلم فقد خرج لبشير بن مهاجر في صحيحه ، ورواه الحاكم وصححه .
ووافقه الذهبي ، وقال الهيثمي في مجمع الزوائد (جـ 7 ص 159) : رواه أحمد ورجاله
رجال الصحيح وذكر له شواهد من حديث أبي أمامة وأبي هريرة ومعاذ بن جبل . وبالجملة
فالحديث أقل أحواله أن يكون حسنًا والقول بصحته ليس ببعيد والله أعلم (تنبيه القارئ
على تقوية ما ضعفه الألباني 7)
Ad-Dawisy
berkata: "Yang benar tidak seperti yang dikatakan Albani. Bahkan hadis ini
adalah hasan atau sahih! Bisa jadi Albani tidak mengetahui hadis penguat lain
(syahid) dari riwayat Buraidah yang sanadnya sesuai kriteria sahih Muslim yang
disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Alhaitsami berkata dalam
Majma' az-Zawaid (7/159): HR Ahmad, perawinya adalah perawi hadis sahih. Secara
umum, hadis ini minimal adalah hasan, dan pendapat yang menyatakan sahih dapat
diterima" (Tanbih al-Qari', 7)
Jika
ad-Dawisy mampu mematahkan keilmuan Albani di bidang hadis, lalu mengapa Wahhabi
masih taklid buta kepada Albani?
Abdullah
bin Muhammad ad-Dawisy menilai kontradiksi Albani yang dinilainya dlaif di satu
kitab tetapi ia sahihkan di kitab lain berjumlah 294 hadis. Sementara yang
sebaliknya (dari sahih ke dhaif) berjumlah 13 hadis (Baca keseluruhan kitab
Tanbih al-Qari'). Sebuah kesalahan fatal bagi ahli hadis yang tak pernah terjadi
sebelumnya dan Albani adalah pemecah rekornya!
Sumber : Hujjah Aswaja